Hitting Rock Bottom

Aku tulis dekat sini untuk ingatan aku nanti. 

Hari Khamis petang, aku balik kerja terus ke rumah mertua. Baju untuk Jumaat dah packed, jadi tak perlu singgah rumah sewa. Direct journey. 

Sampai rumah, bahagia jiwa bila nampak dia. (I didn’t have the time to write about how we got married because I didn’t have the  time - later when I’m up to it again I’ll write it up) 

Badan letih, tapi jiwa terasa lengkap. Day is over, time to prepare for the last working day of the week.  

It is our routine to breakfast before departing. I had a nice roti canai and hot cup of milo. My husband would be preparing for work after he sent me off the main road. His clinic is nearer to the house, lucky him. 

I kissed his hand, asking blessings. He kissed my forehead and cheeks, making cheesy sounds. I drove to work full heartedly. 

It was a dreamy, foggy morning I may say. I turned on the fog lamp and silver lights. Driving steadily on the road with no radio on. I was about to calm down and recite mathurat when suddenly I saw a red vehicle coming out from a junction.

With the speed I was going, I know that car was wrong in any way in any direction in any circumstances! 

All I can do is lift my foot from fuel pedal and tryna brake but it turned out I didn’t manage to brake. She hit my car from the side, I lost control and it felt like the car being tossed. We rolled twice before it stopped near a small stream. Aku tahu, kalau aku lebih laju, I end up dalam parit sana. Alhamdulillah. 

Dalam keadaan tu, macam-macam terlintas dalam kepala. 

“Inikah rasa dia?” 

“Inikah masanya?” 

Aku pejam mata. Semuanya blurry. Macam dalam movie, kaca2 berterbangan, langit sekejap di atas sekejap di bawah, entah bila cermin mata tercabut dari muka aku pun tak pasti. 

Bila kereta terhenti dalam keadaan terbalik mengiring, I was stunned. “Am I still breathing?”, “Am I still, alive...?” 

By that moment I smelled smoke, bau hangit sesuatu terbakar. Tak pasti sama ada it is chemically safe or not. Tak tak, tak boleh. Kena keluar dari kereta. 

Seatbelt aku buka, bertahan badan dengan tangan. Ah cermin tingkap driver pecah, slowly aku berdiri atas rumput yang basah dengan embun pagi. Mujur rendah, boleh berdiri ngam2 dalam kereta yg terbalik. I tried opening the passenger’s door dari bawah, tak kunci tapi tak boleh buka. Bau asap semakin banyak. “Maa... nak keluar” 

Panik. Mata sedikit berkaca. 

Then there’re two young men, teropong dari cermin depan kereta. “Akak tunggu, kawan saya buka dari atas” 

Truth be told, air liur pekat terasa berkaca berpasir bila ditelan. Alhamdulillah boleh telan! 

I was pulled out from the car. Sebelum turun dari atas, aku toleh sebelah. “Ya Allah besarnya parit, sikit lagi..” 

I looked at my car from afar, tayar terpeleot, berlumpur, bonet renggang, cermin pecah, bumper remuk. While other people were focussing on the other car. The passenger bleed, the driver was okay.  Left me at the other side of the road unattended, because I can walk and I’m not bleeding. I didn’t cry, didn’t passed out, didn’t puke and I didn’t felt any open wound. I just felt pain, a deep aching pain. 

A lot of ‘what if’s was there in my mind. I didn’t think about raging about the other person's fault but to take this as a reminder for me. So I didn’t even have a thought of going there to ask “TAK RASA BERSALAH KE KELUAR SIMPANG MELULU TAK TENGOK KIRI KANAN ADA KERETA KE TIDAK BARU KELUAR?” 

Kereta aku total lost. 

Nyawa aku hampir hilang. 

Rusuk aku patah. 

Hati aku lebih remuk. 

Emosi aku punah. 

Marah. Apa kau bodoh sangat. 

Boleh aja begini. 

Tapi pada masa itu, apa yang aku fikir cuma 

“Ya Allah, aku bernafas lagi, tiada luka, tiada pendarahan, aku boleh berdiri atas dua kaki, jari2 aku cukup, mata masih boleh melihat pun aku sudah cukup syukur” 

Ya bersyukur masih belum ada isi. 

Bersyukur masih boleh berada di pangkuan ibu ayah dan suami lagi. 

Cuma patah rusuk. 

Inna lillahi wainna ilaihi roji’un. 

Setiap nikmat yang kita rasa itu, semuanya dari Dia. 

Jadi kembalinya nikmat-nikmat itu juga ke Dia. 

Bahkan hidup kita juga satu pinjaman. 

Bersyukurlah dengan apa yang kita punya, sebab bila mana ia ditarik semula, kita tak merasa terlalu hiba. 

Hadirnya ia dihargai, hilangnya ia akan diganti, maka redha lah seadanya. 

That’s all. 

P/s: This may be cringe, but who cares. 

“Adakah ciuman tadi tu yang terakhir untuk aku?” 

Kah. Mata berkaca lagi.